Jika belasan tahun yang lalu hanya kalangan tertentu yang
mengenal dan membaca kitab Maulid Simthud Durar di
Indonesia, kini keadaannya telah berubah. Kitab ini dalam
tahun-tahun belakangan semakin populer mendampingi
kitab-kitab Maulid lain yang telah lebih dahulu ada. Sebelum
tersebar luas di Indonesia, kitab ini telah menyebar di Jazirah
Arab, Afrika, dan beberapa negeri lain di Asia, dan kini telah
mencapai benua Eropa, Amerika, dan belahan dunia lainnya.
Simthud Durar ditulis oleh Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi
ketika ia berusia 68 tahun. Pada hari Kamis tanggal 26 Shafar
1327 H/18 Maret 1909, Habib Ali mendiktekan paragraf awal
Maulid Simthud Durar setelah memulainya dengan basmalah,
yakni mulai dari al-hamdu lillahil qawiyyi sulthanuh dan seterusnya
hingga wa huwa min fawqi ilmi ma qad ra-athu rif‘atan fi syu-unihi
wa kamala. Ia kemudian
memerintahkan agar tulisan itu
dibacakan kepadanya.
Setelah pendahuluan itu dibacakan, ia berkata, “Insya Allah
aku akan menyempurnakannya. Sudah sejak lama aku
berkeinginan untuk menyusun kisah Maulid.”
Pada hari Selasa awal Rabi’ul Awwal 1327 H/23 Maret 1909
M, ia memenrintahkan agar Maulid yang telah ia tulis dibaca.
Kemudian pada malam Rabu 9 Rabi’ul Awwal 1327 H/31 Maret
1909 M, ia mulai membaca Maulidnya di rumahnya setelah Maulid
itu disempurnakan. Dalam kesempatan itu ia mengatakan, “Maulid
ini sangat menyentuh hati, dan ia baru selesai disusun.”
Pada hari Kamis 10 Rabi’ul Awwal 1327 H/1 April 1909 M, ia
menyempurnakannya lagi. Dua hari kemudian, Sabtu 12 Rabi’ul
Awwal, ia membaca Maulid tersebut di rumah muridnya, Sayyid
Umar bin Hamid Assegaf. Sejak saat itu, ia membaca Maulidnya
sendiri, Simthud Durar. Sebelumnya ia membaca Maulid Ad-
Diba‘iy.
Disebutkan pula, Maulid Simthud Durar pertama kali dibaca
di rumah Habib Ali, kemudian di rumah muridnya, Habib Umar
bin Hamid. Para sahabatnya kemudian meminta agar Habib Ali
membaca Maulid itu di rumah-rumah mereka. Memenuhi per-
mintaan mereka, ia pun mengatakan, “Selama bulan ini, setiap
hari aku akan membaca Maulid Simthud Durar di rumah kalian
secara bergantian.”
Habib Ali juga mengatakan, “Dakwahku akan tersebar ke
seluruh penjuru. Maulidku ini akan tersebar ke tengah-tengah
masyarakat, akan mengumpulkan mereka kepada Allah dan akan
membuat mereka dicintai Nabi SAW.”
Ia juga mengatakan, “Jika seseorang menjadikan kitab Maulidku
ini sebagai wiridnya atau menghafalnya, sir (rahasia) Al-Habib
Shallallahu `Alaihi wa Sallam akan tampak pada dirinya. Aku yang
mengarangnya dan mendiktekannya. Namun, setiap kali kitab itu
dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan
dengan Nabi SAW. Pujianku kepada Nabi SAW dapat diterima
oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi SAW.”
Ketermasyhuran kitab Maulid Simthud Durar juga membuat
penyusunnya semakin terkenal. Orang semakin tahu dan semakin
ingin tahu lagi ihwal kehidupan dan kelebihannya sebagai salah
seorang tokoh ulama Alawiyyin terkemuka abad ke-19 Masehi
(abad ke-13 Hijriyyah) di Hadhramaut.
Tersebar ke Beberapa Negeri
Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husain Al-
Habsyi lahir pada hari Jum’at 24 Syawwal 1259 H/18 November
1843 M di Qasam, sebuah kota di negeri Hadhramaut. Ia anak satu-
satunya pasangan Al-Imam Al-Arif billah Muhammad bin Husain bin
Abdullah Al-Habsyi, seorang ulama terkemuka yang banyak
berdakwah di berbagai tempat, dan Asy-Syarifah Alawiyyah binti
Husain bin Ahmad Al-Jufri, wanita shalihah yang amat bijaksana.
Yang menamainya adalah Habib Abdullah bin Husain Bin Thahir,
guru ayahnya.
Dari istri yang lain, ayahnya mempunyai empat putra dan
seorang putri, yakni Abdullah, Ahmad, Husain, Syaikh, dan
Aminah.
Guru Habib Ali sangat banyak. Sejak kecil ia dididik oleh ayah
dan ibunya. Guru-gurunya dari angkatan tua di antaranya Habib
Hasan bin Shalih Al-Bahar dan Habib Abdullah bin Husain Bin
Thahir. Adapun syaikh fath (guru pembuka tabir pengetahuan)-
nya adalah Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas. Ia pun
menimba ilmu kepada para ulama besar lainnya, seperti Habib
Muhsin bin Alwi Assegaf, Habib Abdurrahman bin Ali bin Umar
Assegaf, Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar. Gurunya
yang terakhir sekaligus sahabat karibnya adalah Habib Idrus bin
Umar Al-Habsyi.
Habib Ali juga pernah menimba ilmu di Makkah ketika ayahnya
pindah dan tinggal di sana. Atas permintaan sang ayah, pada
usia 17 tahun ia berangkat ke sana bersama rombongan haji
dan belajar selama dua tahun. Setelah itu ia kembali ke Seiwun
dan mengambil ilmu dari tokoh-tokoh ulama di sana.
Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari
dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu
zhahir dan bathin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan
untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu, ia diizinkan oleh para guru dan
pendidiknya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-
pengajian di hadapan khalayak ramai. Sehingga, dengan cepat sekali
ia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat
terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk ke-
pemimpinan tiap majelis ilmu, lembaga pendidikan, serta pertemuan-
pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.
Selanjutnya, ia melaksanakan tugas-tugas suci yang di-
percayakan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Ia menghidupkan
ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan.
Mengumpulkan, mengarahkan, dan mendidik para siswa agar
menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka
dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia.
Untuk menampung mereka, dibangunnya Masjid Riyadh di
kota Seiwun (Hadhramaut), pondok-pondok dan asrama-asrama
yang diperlengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi
keperluan mereka, termasuk soal makan-minum. Sehingga
mereka dapat belajar dengan tenang dan tenteram, bebas dari
segala pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan
dengan keperluan hidup sehari-hari.
Bimbingan dan asuhan darinya yang seperti itu telah mem-
berikan kepuasan yang tak terhingga baginya, hingga ia me-
nyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil
mencapai apa yang dicita-citakannya, kemudian meneruskan
serta mensyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh. Bukan saja
di daerah Hadhramaut, tetapi juga tersebar luas ke beberapa
negeri lainnya, di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.
Di tempat-tempat itu, mereka mendirikan pusat-pusat dakwah
dan syiar agama. Mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang
yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani
di kalangan masyarakat setempat. Pertemuan-pertemuan ke-
agamaan diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-lem-
baga pendidikan dan majelis-majelis ilmu didirikan di banyak tem-
pat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam
ruang lingkup yang luas sekali.
Murid-murid Habib Ali antara lain adalah anak-anaknya sendiri,
Abdullah, Muhammad, Ahmad, dan Alwi. Juga saudaranya, Habib
Syaikh bin Muhammad, dan kemenakannya, Habib Ahmad bin
Syaikh. Kemudian Habib Ja‘far bin Abdul Qadir bin Abdurrahman
bin Ali bin Umar bin Segaf Assegaf, Habib Muhammad bin Hadi
bin Hasan Assegaf, Habib Muhsin bin Abdullah bin Muhsin
Assegaf, Habib Salim bin Shafi bin Syekh Assegaf, Habib Ali bin
Abdul Qadir bin Salim bin Alwi Al-Aydrus, Habib Abdullah bin
Alwi bin Zain Al-Habsyi, dan banyak lagi yang lainnya.
Murid-muridnya yang mencapai derajat alim dalam ilmu fiqih
dan lainnya, selain yang menetap di ribath, antara lain Habib
Thaha bin Abdul Qadir bin Umar Assegaf, Habib Umar bin Abdul
Qadir bin Ahmad Assegaf, Habib Alwi bin Segaf bin Ahmad
Assegaf, Syaikh Hasan, Syaikh Ahmad, dan Syaikh Muhammad
bin Muhammad Baraja.
Selain murid-murid yang benar-benar belajar kepadanya, ada
pula orang-orang yang selalu bersamanya dan seperti muridnya
sendiri, yakni Habib Abdullah bin Ahmad bin Thaha bin Alwi
Assegaf, Habib Alwi bin Ahmad bin Alwi bin Segaf Assegaf, Syaikh
Ahmad bin Ali Makarim, Syaikh Ahmad bin Umar Hassan, Syaikh
Muhammad bin Abdullah bin Zain bin Hadi bin Ahmad Basalamah,
dan Syaikh ‘Ubaid bin Awudh Ba Fali.
Syiar Islam lewat Pena
Selain aktif berkegiatan dakwah dan penyebaran ilmu secara
langsung, ia juga menggemakan syiar Islam lewat pena. Di
samping kitab Maulid Simthud Durar, banyak juga karya lainnya,
baik yang disusun langsung olehnya maupun oleh murid-murid,
para pengikut, dan keturunannya. Di antaranya adalah kitab-kitab
kumpulan amalannya yang berisi wirid, hizib, ratib, dan lain-lain,
yang sebagian besar berasal dari Al-Quran, hadits, dan amalan
para ulama terkemuka.
Di tahun-tahun terakhir kehidupannya, penglihatan Habib Ali
semakin kabur. Dan dua tahun sebelum wafatnya, ia kehilangan
penglihatannya. Akhirnya pada waktu zhuhur hari Ahad 20 Rabi’ul
Akhir 1333 H/7 Februari 1915 M, di kota Seiwun, Hadhramaut, ia
kembali ke rahmatullah.
Keesokan harinya jenazahnya diantarkan ke kubur dalam iring-
iringan yang sangat panjang. Setelah shalat Jenazah di halaman
Masjid Riyadh yang diimami oleh anak dan khalifah (pengganti)-
nya, Habib Muhammad, jenazahnya dikebumikan di sebelah barat
Masjid Riyadh.
Dalam wasiatnya, Habib Ali menunjuk putranya, Habib
Muhammad, sebagai khalifahnya. Mengenai Habib Muhammad
ini, Habib Ali pernah mengatakan, “Kalian jangan meng-
khawatirkan anakku, Muhammad. Pada dirinya terletak khilafah
zhahir dan bathin. Semoga Allah menjadikan dia dan saudara-
saudaranya penyejuk hati. Semoga mereka dapat memakmurkan
ribath dan Masjid Riyadh dengan ilmu dan amal. Semoga Allah
menjadikan mereka sebagai teladan dalam setiap kebajikan, dan
semoga Allah memberikan mereka keturunan yang shalih serta
menjaga mereka dari berbagai fitnah zaman dan teman-teman
yang buruk.”
Dari perkawinannya dengan seorang wanita Qasam, Habib
Ali dianugerahi Allah SWT seorang anak yang dinamainya
Abdullah. Dan dari perkawinannya dengan Hababah Fathimah
binti Muhammad bin Segaf Mulachela, ia mendapatkan empat
anak: Muhammad, Ahmad, Alwi, dan Khadijah.
Di antara putra-putranya yang paling dikenal di Indonesia ialah
putranya yang bungsu, Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, pendiri Masjid
Riyadh di Gurawan, Solo (Surakarta). Ia dikenal sebagai peribadi
yang amat luhur budi pekertinya, lemah lembut, sopan dan santun,
serta ramah tamah terhadap siapa pun, terutama kaum yang
lemah, fakir miskin, yatim piatu. Rumah kediamannya selalu ter-
buka bagi para tamu dari berbagai golongan dan tidak pernah
sepi dari pengajian dan pertemuan-pertemuan keagamaan. Habib
Alwi wafat di kota Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul Awal 1333
H/7 Februari 1915 M, dan dimakamkan di kota Solo.
Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi
yang telah dicatat dan dibukukan, di samping tulisan-tulisannya
yang berupa pesan-pesan ataupun surat-menyurat dengan para
ulama di masa hidupnya, juga dengan keluarga dan sanak
kerabat, kawan-kawan serta murid-muridnya, yang semuanya itu
merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah.
No comments:
Post a Comment